-
-

Sunday, July 31, 2011

Mana yang Lebih Hebat Tingkatkan Memori, Makanan atau Suplemen?


(Foto: thinkstok)Jakarta, Saat ini beredar berbagai macam suplemen yang mengklaim jika dikonsumsi bisa meningkatkan memori. Sebenarnya mana yang lebih hebat tingkatkan memori, makanan atau suplemen?

Peneliti memang menemukan bahwa mendapatkan zat gizi yang cukup bisa membantu meningkatkan kemampuan berpikir dan memori, terutama ketika seseorang sudah semakin tua.

Untuk mendapatkan gambaran apakah suplemen yang dikonsumsi bermanfaat untuk memori atau tidak, maka peneliti melakukan studi yang melibatkan 4.500 laki-laki dan perempuan di Perancis yang berusia 45-60 tahun.

Partisipan dibagi menjadi 2 kelompok, satu bagian mendapat suplemen yang mencakup vitamin C, E, selenium, seng dan beta karotren, sementara bagian lain mendapatkan pil plasebo. Tak ada satupun partisipan yang tahu apakah ia menerima suplemen atau pil plasebo dan studi dilakukan selama 8 tahun.

Setelahnya semua partisipan diajak untuk mengikuti tes berbagai jenis memori yang mencakup kata dan angka serta fleksibitas memori. Diketahui partisipan yang mendapatkan suplemen dan plasebo memiliki hasil yang sama.

Geraldine McNeill, seorang ahli nutrisi dari University of Aberdeen di Inggris menuturkan efek menguntungkan justru bisa didapat dari asupan gizi yang seimbang untuk mempertahankan kinerja kognitif terutama memori verbal.

"Mengonsumsi suplemen bagi saya adalah pilihan terakhir, dan kebanyakan orang tidak mendapatkan vitamin dan dosis nutrisi yang mencukupi," ujar McNeill, seperti dikutip dari Foxnews, Sabtu (30/7/2011).

Pendapat senada juga diungkapkan oleh Barbara Shukitt-Hale dari Tufts University di Boston yang mengatakan setiap orang harus mengetahui bahwa untuk meningkatkan kemampuan otak diperlukan lebih dari sekedar mengonsumsi pil suplemen setiap hari.

"Vitamin dan mineral memang penting untuk memori, tapi hal yang paling penting adalah mengonsumsi makanan yang sehat, tetap aktif serta menjaga otak Anda agar tetap tajam," ujar Shukitt-Hale.
ver/ir)





detikhealth.com

Saturday, July 30, 2011

Mata Bengkak Saat Bangun Tidur? Ini Penyebabnya


(Foto: thinkstok)Jakarta, Saat bangun di pagi hari kadang seseorang mengalami mata bengkak sehingga membuatnya tidak percaya diri. Sebenarnya apa yang menyebabkan mata jadi bengkak saat pagi hari?

Mata yang bengkak biasanya baru tersadari saat seseorang bangun tidur. Kejadian ini adalah hal yang umum terjadi dan bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Berikut ini beberapa hal yang bisa menjadi penyebabnya, seperti dikutip dari Livestrong dan Mayoclinic, Sabtu (30/7/2011) yaitu:

Posisi tidur
Tidur dengan posisi kepala yang tidak ditinggikan bisa membuat cairan terakumulasi di bawah mata. Sebaliknya jika kepala agak tertopang dengan menempatkan bantal di bawah kepala akan memungkinkan kekuatan gravitasi untuk menarik cairan dari bawah mata secara alami.

Berapa lama waktu tidur
Mendapatkan waktu tidur yang cukup tidak hanya membantu tubuh berfungsi dengan baik, tapi juga mempengaruhi tingkat peradangan dalam tubuh. Bila tidak mendapatkan tidur yang cukup, maka pembuluh darah di bawah mata akan membesar dan lebih dekat dengan permukaan sehingga tampak lebih bengkak.

Makanan dan minuman yang dikonsumsi sebelum tidur
Jika mengonsumsi makanan yang kaya natrium atau minum alkohol berlebih maka kemungkinan akan bangun dengan mata bengkak. Hal ini karena makanan yang terlalu asin atau natrium tinggi menyebabkan tubuh menahan air sehingga memicu mata bengkak.

Sementara itu alkohol bertindak sebagai minuman yang memicu dehidrasi sehingga membuat kulit di bawah mata terasa lebih tipis. Hal ini menyebabkan cairan yang menumpuk lebih terlihat dan tampak lebih bengkak.

Meski begitu ada beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai rutinitas untuk mengurangi mata bengkak secara efektif yaitu:

Mengompres dingin area mata secara keseluruhan selama beberapa menit setelah bangun tidur. Untuk mengompresnya bisa menggunakan irisan timun, kain, kapas atau kantong teh basah yang berfungsi menyempitkan pembuluh darah. Berikan tekanan secara lembut pada tulang di sekitar mata seperti ketika dikompres, kondisi ini akan mendorong sirkulasi dan membantu mengurangi cairan berlebih. Jika mata bengkak akibat makan makanan asin di malam hari, maka minum air putih saat bangun tidur bisa membantu mengurangi mata bengkak. Cobalah tidur cukup dan menggunakan bantal untuk membantu menopang kepala sehingga mencegah akumulasi cairan di sekitar mata selama tidur. Jika mata yang bengkak akibat alergi terhadap sesuatu, maka kenali pemicu alergi tersebut. Alergi ini bisa disebabkan oleh sabun, kosmetik atau obat tertentu.  
ver/ir)





detikhealth.com

Asupan Garam Saat Hamil Pengaruhi Ginjal Bayi


(Foto: thinkstok)Jakarta, Ibu hamil biasanya dianjurkan untuk mengontrol asupan garam karena bisa memicu kaki bengkak. Ternyata asupan garam saat hamil juga bisa mempengaruhi perkembangan ginjal bayi.

Sebuah studi baru menemukan bahwa asupan garam baik yang terlalu sedikit atau terlalu banyak selama kehamilan bisa memberikan efek terhadap perkembangan ginjal janin yang dikandungnya. Konsekuensi yang didapatkan salah satunya adalah mengakibatkan tekanan darah tinggi dikemudian hari.

Sementara itu pada penelitian sebelumnya telah diketahui hubungan antara tekanan darah tinggi dengan jumlah nefron yang rendah. Hal ini penting karena nefron adalah unit struktural dan fungsional dasar dari ginjal, seperti dikutip dari MedIndia Sabtu (30/7/2011).

Para peneliti dari University of Heidelberg dan University of Aarhus melakukan studi dengan menggunakan hewan percobaan tikus yang diberikan diet rendah, sedang dan tinggi natrium selama kehamilan dan juga menyusui.

Peneliti akan menilai struktur dari ginjal setelah 1-12 minggu setelah kelahiran, serta mengukur protein yang diketahui terlibat dalam pengembangan ginjal diperiksa pada saat lahir dan usia 1 minggu. Hal lain yang juga turut diukur adalah tekanan darah selama usia 2-9 bulan.

Hasil yang didapatkan adalah jumlah glomerulus (unit struktural utama dari ginjal) selama 1-12 minggu secara signifikan lebih rendah dan tekanan darah yang lebih tinggi jika ibunya mengonsumsi garam dalam jumlah sedikit atau terlalu banyak, dibandingkan dengan yang normal.

Temuan tersebut menunjukkan bahwa asupan garam yang terlalu rendah dan juga terlalu tinggi selama hamil bisa menghambat perkembangan glomerulus baru sehingga nefron yang terbentuk akan sedikit. Studi ini dipublikasikan dalam American Journal of Physiology-Renal Physiology.

Meski begitu bukan berarti ibu hamil tidak boleh mengonsumsi garam sama sekali, tapi bisa dikurangi jumlahnya seperti memilih mengonsumsi makanan yang segar dibanding makanan kemasan atau yang diproses, serta kurangi penggunaan kecap dan bumbu penyedap dalam setiap masakan.
ver/ir)





detikhealth.com

Cucilah Kumis 2 Kali Sehari untuk Cegah Alergi


(Foto: thinkstok)Jakarta, Beberapa pria ada yang sengaja memelihara kumis untuk menunjang penampilannya. Tapi rawatlah kumis dengan rajin mencuci dan mencukurnya agar terbebas dari alergi.

Sebuah studi menunjukkan bahwa laki-laki yang rajin mencuci kumisnya 2 kali sehari dengan menggunakan sabun dan mencukurnya secara teratur akan lebih sedikit mengonsumsi obat antihistamin dan decongestan.

"Seperti pakaian, kulit dan rambut, maka kumis pun rentan sebagai tempat berkumpulnya mikroorganisme dan alergen setiap harinya," ujar Dr Rob Hicks penulis buku Beat Your Allergy, seperti dikutip dari Dailymail, Sabtu (30/7/2011).

Dr Hicks menuturkan dengan rutin mencuci kumis setiap harinya maka bisa membersihkan dan menyingkirkan segala bentuk mikroorganisme dan alergen yang berkumpul di daerah tersebut. Hal ini akan membantunya menghindari alergi seperti bersin-bersin.

"Rajin mencukur kumis juga bisa memberikan perbedaan yang cukup besar dalam mencegah alergi. Hal ini akan lebih mudah dan efektif dilakukan daripada harus mengingat untuk mencuci kumis dua kali sehari," ungkapnya.

Kondisi ini dikarenakan posisi kumis yang dekat dengan hidung, sehingga jika ada debu atau mikroorganisme lain yang berkumpul di kumis akan lebih mudah masuk ke dalam hidung yang bisa memicu seseorang bersin dan alergi.

"Bersin adalah salah satu cara alami tubuh untuk membersihkan benda asing yang menyerang hidung sekaligus memberikannya perlindungan," ujar Dr James Banks, seorang ahli alergi imunologi.

Partikulat yang bisa membuat seseorang menjadi alergi dan bersin-bersin termasuk debu dan alergen umum lain seperti serbuk sari atau bulu binatang. Jika kumis tidak dicuci atau dibersihkan, maka partikulat ini akan berkumpul sehingga membuat seseorang rentan terkena alergi atau justru memperparah kondisi alergi yang sudah dimiliki sebelumnya.
ver/ir)





detikhealth.com

Hot Dog Sama Bahayanya dengan Rokok?


(Foto: dailymail)Washington DC, Kelompok medis di Washington DC baru saja meluncurkan billboard dengan gambar makanan hot dog di dalam bungkus rokok disertai dengan peringatan bahwa hot dog dapat merusak kesehatan. Apakah hot dog sama bahayanya dengan rokok?

Physicians Committee for Responsible Medicine baru saja meluncur billboard peringatan di Indianapolis yang menggambar 4 buah hot dog di dalam bungkus sebuah rokok yang ditata layaknya 4 batang rokok.

Pada billboard tersebut juga tertulis pesan yang berbunyi 'Warning: Hot dogs can wreck your health' (Peringatan: Hot dog dapat merusak kesehatan Anda.

Kelompok medis ini mencoba menciptakan kesadaran masyarakat tentang hubungan antara hot dog dan kanker kolorektal atau kanker usus besar.

Penelitian tahun 2007 yang dikutip dari World Cancer Research Fund menemukan bahwa 50 gram porsi daging olahan per hari yang sama dengan jumlah 1 porsi hot dog, dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal sekitar 21 persen.

"Hot dog harus dilengkapi dengan label peringatan yang membantu konsumen memahami risiko kesehatan, yang mirip dengan label peringatan pada bungkus rokok," jelas Susan Levin, direktur komite pendidikan nutrisi, seperti dilansir Dailymail, Jumat (29/7/2011).

Namun, tidak semua ahli kesehatan sepakat dengan hal yang diusulkan Physicians Committee for Responsible Medicine tersebut.

"Hal ini tak perlu membuat orang untuk menghilangkan konsumsi daging merah atau olahan (sama sekali), melainkan pesan itu dimaksudkan agar tidak menjadikan makanan ini sebagai andalan dalam diet Anda," penjelasan dalam pedoman dari American Cancer Society.


mer/ir)





detikhealth.com

Waspadai Risiko Terkena Stroke Saat Hamil


(Foto: thinkstock)Jakarta, Stroke umumnya terjadi pada orang yang sudah berusia lanjut. Tapi ternyata stroke juga bisa menyerang ibu hamil, terutama jika ia sudah memiliki pola hidup yang tidak sehat sebelumnya.

Peneliti dari Amerika Serikat menuturkan bahwa risiko stroke diantara peempuan yang hamil dan baru saja melahirkan berada pada tingkat yang cukup mengkhawatirkan, padahal sebelumnya hal ini termasuk jarang terjadi.

Kenaikan ini disebabkan oleh karena perempuan tersebut sudah memiliki faktor risiko stroke sebelum hamil, termasuk tekanan darah tinggi dan obesitas. Hal ini diungkapkan dalam studi yang dipublikasikan dalam Journal of the American Heart Association.

"Jika seseorang sudah relatif sehat sebelum hamil, maka risiko stroke saat hamil tidak akan terlalu tinggi," ujar Dr. Elena Kuklina dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), seperti dikutip dari AFP, Jumat (29/7/2011).

Dr Kuklina menuturkan kondisi yang ada saat ini adalah banyak perempuan yang sudah memiliki faktor risiko terhadap stroke, dan kehamilan sendiri merupakan salah satu faktor risiko. Jadi jika ia punya diabetes, hipertensi, obesitas dan penyakit jantung bawaan, maka risikonya jadi berlipat.

Sementara itu beberapa ahli menuturkan ada 3 hal penting yang membuat ibu hamil memiliki risiko terkena stroke yaitu:

Peningkatan tekanan darah setelah mengembangkan preeklampsia dan eklampsia Peningkatan kecenderungan terjadinya pembekuan darah Peningkatan frekuensi dan sakit kepala migrain yang parah
Umumnya ibu hamil yang mengalami stroke lebih sulit untuk diobati, karena dikhawatirkan obat-obatan yang diberikan bisa membahayakan janin yang sedang dikandungnya. Terlebih belum banyak informasi yang ada mengenai obat stroke untuk ibu hamil.

Beberapa hal diketahui bisa membantu menghindarkan stroke selama kehamilan seperti usahakan untuk tetap aktif, menghindari stres dan sering-seringlah berkonsultasi dengan dokter untuk menghindari eklampsia atau preeklampsia.
ver/ir)





detikhealth.com

8 easy ways to detox your life for better health

In your bedroom

"If people would buy different sheets, they might not need sleeping pills," says consumer advocate Debra Lynn Dadd, author of "Toxic Free." Polyester-cotton blends and permanent press linens have a finish that releases formaldehyde, which can irritate the throat and eyesâ€"not helpful for peaceful sleep. Use untreated cotton sheets; avoid wrinkles by taking them out of the dryer right away.

In your living room

Pressed-wood products are another source of formaldehyde, which Laura Beane Freeman, Ph.D., investigator with the National Cancer Institute, has linked to myeloid leukemia in factory workers. Let pieces air out in a room with doors shut and windows open, suggests Tom Lent, policy director at the Healthy Building Network in Washington, D.C. Or shop for used piecesâ€"they've already aired out.

In your garden

Before dousing your lawn with chemicals, try TLC: Water with a soaking hose, add weed-inhibiting mulch to garden beds, and set the mower for 3 inches (as longer grass shades and stifles weeds). Got a weed you can't stand? Try herbicides made with corn gluten meal or vinegar.

At the market

You can consume nearly 80 percent fewer pesticides by eating organicversions of the 12 most contaminated items, the Environmental Working Group (EWG) concludes. The worst produce is apples, followed by celery, strawberries, peaches, spinach, imported nectarines, imported grapes, bell peppers, potatoes, domestic blueberries, lettuce and kale.

On your table

Some fast food wrappers and bags, pizza boxes and microwave popcornbags contain oil- and water-repelling chemicals that transfer to and metabolize in the body, forming likely carcinogens, says Jessica D'eon, Ph.D., a researcher in the department of chemistry at the University of Toronto. The EPA is working to eliminate the chemicals by 2015; until then, they're yet another reason to cut back on grease bombs.

In your closet

The dry-cleaning fluid perchloroethylene (PERC) can cause headaches and liver and kidney damage. "And a newer method swaps out PERC for D-5, which caused uterine cancer in lab animals," Dr. Solomon says. "Wet cleaning" or carbon dioxide methods are ideal. If you dry-clean, keep clothes bagged while driving home so you don't pollute your car, then toss bags and air clothes outside or in an apartment stairwell for an hour.

In your jewelry box

In tests of costume jewelry with metal, most from China, 19 percent contained the carcinogen cadmium, reports Jeff Weidenhamer, Ph.D., professor of chemistry at Ashland University. "Small exposures to cadmium can add up and cause kidney and bone damage," he says. Buy locally made bling, and ask artisans where they get materials.

Around your home

Your Swiffer isn't organic, but it can reduce toxins. "Chemicals can piggyback on dust," Dadd explains. Women whose breast milk contained the fire retardant Deca, which animal studies link to problems with memory and attention, also had Deca in their vacuum-bag dust, EWG found. Dust surfaces and floors weekly, take off your shoes and wipe pets' paws at the door (so no one tracks in chemicals), and change filters in your central-air system at least once a year. Then breathe easy.

6 Nontoxic Beauty Buys

12 Unhealthy Products: Which to Eliminate, Cut Back on or Quit Worrying About

The Truth About Detox Diets

5-Minutes To Flat Abs

6 Ways to Get Younger Skin

SELF's Lose 8 Pounds Plan

  • Senyuman di Foto Jadul Bisa Meramalkan Peluang Umur Panjang


    foto: ThinkstockJakarta, Peluang seseorang untuk berumur panjang bisa diprediksi dari lebar senyuman di foto-foto jadul saat masih muda. Makin lebar senyumnya berarti makin berpeluang punya umur panjang, sebaliknya makin jutek risiko mati muda makin besar.

    Beberapa penelitian mengungkap adanya hubungan antara senyum di masa kecil dengan kondisi kesehatan dan kebahagiaan seseorang saat beranjak tua. Salah satu penelitian tentang hal itu pernah dipublikasikan beberapa waktu yang lalu di jurnal Psychological Science.

    Dalam penelitian tersebut, para ahli mengamati foto masa muda dari 230 atlet baseball Amerika Serikat yang sudah meninggal. Foto-foto jadul (zaman dulu) tersebut diambil sekitar tahun 1952, ketika para almarhum yang diteliti masih berusia kanak-kanak.

    Setelah datanya dikumpulkan lalu dibandingkan, atlet yang dalam foto masa kecilnya tidak tersenyum rata-rata hidup hingga usia 72,9 tahun. Atlet yang tersenyum namun hanya sedikit atau tanggung rata-rata hidup 2 tahun lebih lama, yakni sekitar 74 tahun.

    Sementara itu, atlet yang hidup hingga usia paling tua adalah atlet yang tersenyum paling lebar dalam foto-foto masa kecilnya. Atlet dengan senyuman paling lebar di foto-foto masa kecilnya mampu bertahan hidup hingga usia rata-rata 79,9 tahun.

    "Anak yang bahagia tumbuh di keluarga yang baik. Kondisi ini memungkinkan bagi anak-anak untuk menjadi lebih sehat dan kuat," ungkap Lindsay Till Hoyt, PhD dari Northwestern University yang melakukan penelitian tersebut seperti dikutip dari MensHealth.com, Jumat (28/7/2011).

    Selain berhubungan dengan usia harapan hidup, lebar senyuman pada foto jadul di masa kecil juga berhubungan dengan kebahagiaan hidup berkeluarga. Penelitian lain pernah mengungkap, orang-orang yang di foto jadulnya tidak pernah senyum punya risiko 5 kali lebih besar untuk bercerai.
    up/ir)





    detikhealth.com

    Jangan Anggap Sepele Keringat Berlebih di Kaki


    (Foto: thinkstock)Jakarta, Keringat memang bisa muncul dimana saja termasuk di kaki. Tapi sebaiknya jangan anggap sepele keringat berlebih di kaki, karena bisa jadi itu tanda penyakit atau justru menimbulkan kondisi buruk lainnya.

    Kaki yang memiliki keringat berlebih dikenal dengan istilah medis plantar hyperhidrosis. Kondisi ini bisa menjadi masalah yang signifikan dan mengganggu kualitas hidup seseorang.

    Umumnya kulit kaki manusia bisa menghasilkan keringat lebih banyak dibandingkan dengan kulit bagian tubuh lain. Hal ini karena kulit kaki memiliki kelenjar keringat yang lebih banyak.

    Beberapa kondisi serius juga bisa menyebabkan keringat berlebih dan rasa seperti terbakar termasuk diabetes yang sudah masuk ke komplikasi saraf dan penyakit vaskular perifer, seperti dikutip dari CNN, Jumat (28/7/2011).

    Selain itu penggunaan sepatu dalam jangka waktu panjang juga membuat sel-sel kulit mati terakumulasi dengan keringat dalam tempat tertutup. Pada kondisi seperti itu, jamur dan bakteri bisa tubuh serta berkembang biak yang menyebabkan bau dan infeksi.

    Kebanyakan jamur pada kaki berada pada telapak kaki dan diantara jari-jari. Kondisi yang lebih parah dari jamur biasanya disebut dengan athlete's foot atau tinea pedis yang membutuhkan penanganan medis lebih lanjut.

    Meski begitu beberapa langkah bisa dilakukan untuk mengatasi keringat berlebih di kaki yaitu:

    Mencuci kaki setiap hari dengan air hangat dan sabun antibakteri, lalu keringkan kaki secara menyeluruh terutama di sela-sela jari dengan menggunakan handuk katun kering yang lembut. Menggunakan penyemprot sepatu yang dirancang untuk mengurangi bau dan mencegah akumulasi bakteri serta jamur. Menggunakan bedak kaki untuk menjaga kaki agar tetap kering Menggunakan kaus kaki tebal sehingga bisa menyerap keringat dan membantu ventilasi kaki Menggunakan kaus kaki yang 100 persen terbuat dari katun atau wol, serta hindari kaus kaki dari bahan sintetis dan stoking (polyester atau nylon) karena bisa memperburuk masalah Jika keringat yang ada tetap berlebihan, maka gantilah kaus kaki beberapa kali dalam sehari Menggunakan sepatu dengan ventilasi yang baik serta hindari sepatu plastik atau nilon. Jika sedang tidak menggunakan sepatu, biarkan kaki bebas dan terkena udara.  
    ver/ir)





    detikhealth.com

    Mouthwashing moms less likely to have a preemie

    Expectant mothers who have gum disease are less likely to deliver their babies prematurely if they use mouthwash throughout their pregnancy, a new study suggests.

    Pregnant women with gum disease, also called periodontal disease, are known to have more preemies than women with healthy gums.

    But it's unclear whether that link is causal, and so whether better oral hygiene would make a difference.

    The new study, although not ironclad proof, found that regularly using an alcohol-free mouth rinse appeared to cut women's risk of early labor by about three-quarters.

    "I think this is extremely encouraging," said Dr. Steven Offenbacher, a professor at the University of North Carolina's School of Dentistry, who was not involved in this study.

    "We haven't known the best way to manage these patients."

    The research team, which included staff and funding from Procter and Gamble, the company that markets the mouthwash used in the study, asked 71 pregnant women with gum disease to rinse twice a day for 30 seconds with Crest Pro Health mouthwash. The mouthwash does not contain alcohol.

    They compared the number of pre-term births among this group to 155 pregnant women who also had gum disease, but rinsed only with water.

    Among the water-only group, 34 mothers -- or about one in five -- delivered their babies prematurely, before 35 weeks of pregnancy.

    In the mouthwash group, just four mothers delivered their babies prematurely, which is about one in 20 births.

    The difference between the groups "was just incredible," said Dr. Marjorie Jeffcoat, the lead author of the study and a professor at the University of Pennsylvania School of Dental Medicine.

    But she pointed out that the women knew which treatment they were getting -- water or mouthwash -- which in principle might have influenced the results.

    Jeffcoat's team did not identify why the mouthwash was linked to fewer premature babies, but gum disease might play a role.

    Gum disease starts when bacteria on the teeth infect the gums and cause swelling, and pregnancy can exacerbate the condition.

    Inflammation in gum disease involves the hormone-like substance prostaglandin E2, Jeffcoat explained. This same chemical is involved in labor.

    Her hypothesis is that gum disease leads to inflammation and more prostaglandin E2 circulating through the body, which might then spark an early labor. On the flip side, by treating the gum disease, women can cut their prostaglandin E2 levels and reduce their risk of going into labor early, Jeffcoat believes.

    The study, published in the American Journal of Obstetrics and Gynecology, found that mouthwash did appear to help the gum disease.

    Mothers who didn't use the mouthwash had more inflammation and sites along the gums where the tissue would bleed.

    Aggressive teeth-cleaning is also used to fight gum disease during pregnancy, and a study from April found the procedure appeared to be safe for expectant mothers.

    But whether it has an effect on pre-term births is still unclear.

    "We are seeing that those types of treatments are usually not adequate to prevent mothers from getting worse during pregnancies," Offenbacher told Reuters Health.

    Mouthwash is a less-invasive alternative to teeth cleaning, and it typically costs less than $10 a bottle.

    But, Jeffcoat cautioned, "Obviously, if you don't have periodontal disease this is not going to help" your risk of pre-term birth.

    Both dentists agreed it's important for pregnant women to take care of their oral health.

    "They need to use a soft toothbrush and floss the right way," wrapping the floss around the tooth, Jeffcoat told Reuters Health earlier this year. "The first goal with almost all dental disease is prevention, prevention, prevention."

  • Friday, July 29, 2011

    Suicide spikes among middle-aged women

    At 23, Julie Boledovich Farhat decided to leave her boyfriend, three siblings and beloved hometown in Michigan to focus on saving her mother.

    After watching her mom, Gail Boledovich, battle schizophrenia for three years and suffer from hallucinations and delusions, Julie resolved to take an engineering job in Bowling Green, Ky., and buy a house where her mom could live with her and have a beautiful garden and even an art studio to create her mosaics. Gail would be spared the stress of having to work or pay bills. Everything would work out, Julie thought.

    But Gail Boledovich never made it to Kentucky. She took her own life on May 1, 2005, two days before her 49th birthday. She died from an overdose of prescription-strength Benadryl pills that doctors had prescribed to her to help her sleep at night. Boledovich took the lethal dose in the middle of the day.

    Farhat’s mom could have been anyone’s mom, or aunt â€" or wife.

    A new report from the Substance Abuse and Mental Health Services Administration (SAMHSA) shows a 49 percent increase in emergency department visits for drug-related suicide attempts for women aged 50 and older.

    And women aged 40-69 are more at risk of killing themselves than other women, according to new research on age-specific suicide rates between 1998 and 2007. In 2007, this age group made up 60 percent of the 7,328 suicides reported among women.

    But why middle-aged women?

    It could just be a question of numbers: One in four adults in the U.S. has a treatable mental health condition, and middle-aged women are one of the fastest-growing populations in the country.

    Or it may have something to do with baby boomers̢۪ higher rates of substance abuse, an important risk factor in suicide, said Julie Phillips, Ph.D., a social demographer and associate professor at Rutgers University in New Jersey. Phillips calculated the age-specific rates from data from the National Center for Health Statistics and the Census Bureau. And during the nine-year time period she studied, suicide rates are fairly stable for women younger than 40, and for women older than 70, suicide rates are actually on the decline.

    Women over 50 may also be in crisis because pain and sleep disorders â€" common problems with aging â€" can lead to an increased use of prescription drugs, according to Albert Woodward, Ph.D.,  the project director of SAMHSA’s Drug Abuse Warning Network. According to the SAMHSA report, suicide attempts involving drugs to treat anxiety and insomnia increased 56 percent. Woodward adds that older women may experience depression because of health changes and other negative life events.

    Loneliness and depression are also suicide risk factors. "Older women especially in the U.S. are more isolated and separated from daily human contact outside of work and the internet," says Ellyn Kaschak, Ph.D., emeritus professor of psychology at San Jose State University and the editor of the journal Women & Therapy.

    Dr. LeslieBeth Wish, a psychologist and licensed clinical social worker in Sarasota, Fla., has found through her online surveys, lectures and focus groups a startling increase in suicide attempts with women ages 45 to 54. Women are susceptible to depression but older women may also be suffering from pre-menopause hormone fluctuations that can affect mood changes and depression. Also, existing long-term illnesses such as lupus or multiple sclerosis can worsen and breast cancers and other cancers might be diagnosed.

    Dr. Wish also says middle-aged women are more aware of their mortality and may be disappointed and disillusioned that it̢۪s too late for happiness. Transitioning to becoming an empty nester can also be stressful for women.

    “Mental illness is a real debilitating illness,” Farhat says. “But unlike someone who is physically disabled, no one holds the door open for a person on the street having hallucinations.”

    In honor of her mother, Farhat, now 30, and her three siblings started Mind Over Matter (MOM), a small nonprofit aimed at promoting mental health awareness and raising money for research and suicide prevention in Michigan.

    “Society puts so much emphasis on how these people die, but I loved my mom â€" the way she died had nothing to do with the person she was.”

    "Like" TODAY Health on Facebook: http://www.facebook.com/todayhealth.

    Reprints

  • Want to relax? Give a massage (you heard us right)

    Is your boyfriend or girlfriend begging for a massage? Go ahead, give it to them. A new study of the social life of birds finds that while it's better to receive than to give, an individual providing a massage can expect a relaxation boost as well.

    Birds don't give massages, of course; instead, they groom one another. But just like in humans, this social behavior promotes bonding and de-stresses the animals, according to a new study published this week in the journal Proceedings of the Royal Society: Biology Letters.

    "Giving of these kinds of social behaviors can be rewarding in their own right," said study researcher Andrew Radford, a biologist at the University of Bristol. "You might be gaining something yourself in being nice in that way, by reducing stress."

    Birds of a feather groom together
    Studies of joint grooming behavior (called "allogrooming") have mostly focused on apes and monkeys, Radford told LiveScience. But like primates, birds live in complex social groups and spend lots of time preening one another. Radford wanted to find out what the feathered creatures were getting out of the experience.

    He observed green woodhoopoes, small, metallic-colored birds that live in thickly forested valleys in the Eastern Cape province of South Africa. The birds are "actually a bit of a nightmare to follow," Radford said, since they move around a lot in their leafy habitat. But fortunately, woodhoopoes sit still when they're grooming, making it easier to watch what goes on.

    To gauge how birds felt after a good grooming session, Radford watched their post-allogrooming behavior. A stressed bird will groom itself further, while a relatively relaxed one will lay off the preening. Radford compared the amount of time spent preening both post-allogrooming sessions and when the birds hadn't been involved in pair grooming recently. [ 10 Amazing Things You Didn't Know About Animals ]

    Giving and receiving
    Surprisingly, both the groomer and the groomee spent less time preening themselves post-allogrooming â€" though unsurprisingly, the stress relief effect was greater for the birds that had received the "massage" instead of giving it.

    The findings are important for understanding how social animals evolved, Radford said. To grasp social behavior, he said, you have to find out what motivates the exchange from both the giving and receiving perspective, he said.

    For example, birds that were lower in the pecking order also got a greater stress-relief boost from being involved in grooming, whether giving or receiving, than dominant flock members, Radford said. This may be because subordinate birds are bullied more often than dominant birds, so a soothing grooming session is comparatively more relaxing.

    "Life might be more stressful in general for a subordinate," Radford said. "Perhaps you feel more secure [when] you're currently involved in a nice social bonding experience."

  • Thursday, July 28, 2011

    Gula Darah Tinggi dan Rendah Bisa Bikin Mimpi Buruk


    (Foto: thinkstock)Jakarta, Tak sedikit orang yang pernah merasakan mimpi buruk. Selain menjadi bunga tidur, mimpi buruk juga bisa disebabkan oleh makanan yang Anda makan sebelum tidur, salah satunya terlalu banyak makan gula atau saat kadar gula darah turun.

    Sebuah artikel dalam Journal of the Mind and Body mengutip beberapa penelitian yang mencoba menentukan hubungan antara makan sebelum tidur dan mimpi yang dialami.

    Beberapa studi menunjukkan bahwa makan gula secara berlebihan sebelum tidur dapat meningkatkan aktivitas gelombang otak. Aktivitas yang tinggi dapat meningkatkan kejelasan mimpi termasuk membuat orang mengalami mimpi buruk, seperti dilansir Livestrong, Rabu (27/7/2011).

    Selain gula, masih ada bahan kimia lainnya yang dapat mempengaruhi mimpi. Sebagai contoh, koyo nikotin kadang-kadang dikemas dengan peringatan yang menyatakan dapat menyebabkan mimpi 'nyata' atau tidak biasa.

    Junk food yang tidak mengandung nikotin, permen dan coklat yang mengandung theobromine dan kafein juga dapat mengganggu tidur dan menyebabkan mimpi buruk bila dimakan dalam jumlah yang cukup banyak sebelum tidur.

    Selain terlalu banyak makan gula, ternyata gula darah rendah juga dapat mempengaruhi mimpi. Menurut MayoClinic.com, tingkat gula darah anak juga dapat mempengaruhi mimpinya.

    Bila kadar gula darah menjadi rendah (hipoglikemia) saat tidur, beberapa orang anak akan mengalami gejala mengalami mimpi buruk. Hal ini biasanya terjadi pada anak yang menderita diabetes.

    Beberapa tanda dan gejala hipoglikemia pada anak diabetes misalnya sering mimpi buruk, keringat, kelelahan saat bangun, pusing, kebingungan, kesulitan berbicara, kecemasan, perubahan kepribadian dan berperilaku aneh, yang seringkali terjadi di pagi hari dan biasanya disebut 'efek fajar'.

    Untuk itu, sebaiknya makanlah makanan yang sehat tak hanya sebelum tidur tetapi setiap harinya untuk menjaga gula darah selalu dalam kadar normal.



    mer/ir)





    detikhealth.com

    Yang Berisiko Meninggal Mendadak Akibat Jantung


    (Foto: thinkstock)Jakarta, Penyakit jantung merupakan salah satu penyakit yang banyak ditakuti oleh masyarakat. Beberapa orang bisa bertahan dari penyakit jantung sementara yang lainnya tidak. Apa saja yang membuat seseorang berisiko meninggal mendadak akibat jantung?

    Tim peneliti dari Wake Forest Baptist Medical Center melaporkan dalam British Medical Journal's Health bahwa ada faktor-faktor tertentu yang bisa membuat seseorang lebih berisiko mengalami kematian jantung mendadak.

    "Kematian jantung mendadak biasanya terjadi sebelum atau saat pasien baru tiba di rumah sakit, sehingga hanya sedikit usaha yang bisa dilakukan untuk menyelamatkannya," ujar Dr Elsayed Z Soliman, seperti dikutip dari Healthland.Time, Rabu (27/7/2011).

    Jika bisa mengidentifikasi faktor-faktor risikonya, maka diharapkan bisa menjadi langkah pertama untuk mengurangi angka kejadian kematian jantung mendadak. Kondisi ini terjadi ketika jantung berhenti secara mendadak dan tidak terduga sehingga mencegah darah mengalir ke otak dan organ penting lain yang menyebabkan kematian dalam beberapa menit.

    Faktor-faktor ini diharapkan bisa membantu dokter dan pasien dalam mengidentifikasi seseorang yang berisiko tinggi.
    Berikut ini adalah beberapa faktor yang ditemukan oleh peneliti yaitu:

    Etnis, peneliti menemukan orang dengan etnis hitam lebih mungkin meninggal karena serangan jantung sebelum mencapai rumah sakit. Memiliki tekanan darah tinggi, jika seseorang memiliki riwayat tekanan darah tinggi atau hipertensi maka bisa meningkatkan denyut jantung yang menjadi prediktor kuat kematian mendadak. Nilai indeks massa tubuh (IMT), seseorang yang memiliki nilai IMT tinggi atau rendah secara signifikan dikaitkan dengan risiko kematian mendadak yang lebih besar, tapi tidak meningkatkan risiko penyakit jantung koroner. Hasil pemeriksaan ECG, tes ECG (electrocardiograph) dilakukan untuk mengukur irama detak jantung. Jika hasil tes ini abnormal maka bisa menjadi prediktor terkuat terhadap kematian jantung mendadak.
    Faktor-faktor ini umumnya tidak bersifat kausal, yang berarti belum tentu orang dengan kriteria tersebut tidak bisa mengelak dari kematian jantung, tapi orang yang tidak termasuk kriteria ini belum tentu terlindungi sepenuhnya.

    Untuk itu setiap orang tetap perlu menjaga kesehatan dengan melakukan pola makan yang baik serta gaya hidup sehat yang menyeluruh agar terhindar dari risiko kematian mendadak.
    ver/ir)





    detikhealth.com

    Parasit pada Kucing Diduga Meningkatkan Risiko Kanker Otak


    foto: ThinkstockMontpellier, Prancis, Parasit toksoplasma sering dijumpai pada kotoran kucing dan bisa menempel di mana-mana lalu menular ke manusia. Bukan cuma berbahaya bagi ibu hamil, parasit ini diduga juga bisa meningkatkan risiko kanker otak pada orang yang tertular.

    Sebuah penelitian yang dilakukan para ahli dari CNRS Institute di Montpellier mengungkap, negara-negara dengan tingkat infeksi toksoplasma tinggi cenderung lebih banyak memiliki kasus kanker otak. Padahal hasil pengamatan ini sudah disesuaikan dengan faktor lain, termasuk tingkat penghasilan.

    Pada binatang, infeksi toksoplasma memang sudah terbukti mempengaruhi otak. Selain memicu kanker, infeksi parasit ini juga menyebabkan peribahan perilaku, misalnya pada tikus jadi tidak punya rasa takut sehingga mudah diterkam dan dimangsa oleh kucing.

    Sementara pada manusia, selama ini yang dinilai berisiko hanya ibu hamil karena dikhawatirkan bisa berakibat fatal pada kesehatan janin. Dengan hasil penelitian terbaru tersebut, maka orang dewasa juga bisa mengalami peningkatan risiko yang fatal akibat infeksi toksoplasma.

    Meski demikian, para peneliti mengaku baru melihat adanya hubungan namun belum membuktikan bahwa kucing bekserta parasit toksoplasma pada kotorannya merupakan pemicu kanker otak. Bagaimanapun, untuk menyimpulkan hal itu harus ada penelitian lebih lanjut.

    "Setidaknya dengan mengetahui adanya hubungan antara toksoplasma dengan kanker otak, ada peluang lebih besar untuk menekan risiko kanker otak," ungkap salah seorang peneliti, Frederich Thomas seperti dikutip dari Dailymail, Rabu (27/7/2011).

    Sedangkan untuk mengurangi risiko infeksi toksoplasma pada manusia, para peneliti menyarankan untuk sering-sering membersihkan kucing maupun hewan peliharaan lainnya. Selain itu, hindari makan daging setengah matang dan menghirup debu atau apapun yang mungkin terkontaminasi kotoran kucing.
    up/ir)





    detikhealth.com

    1 in 6 changes order when restaurant menus list calories

    New York City's requirement that fast-food restaurants post calorie counts on menus led one in six customers to notice the information and buy foods with fewer calories, according to new research released on Tuesday.

    While overall calorie consumption for the thousands of people tracked did not change, customers of McDonald's, Au Bon Pain and Yum Brands Inc's KFC were shown to make significant modifications, according to the study funded by the city of New York and the Robert Wood Johnson Foundation.

    The report, published in the British Medical Journal, is one of the first to show a 2008 New York City law, requiring restaurant chains to prominently post calorie information, changed customer buying habits.

    Advocates of the law see it as an important measure to help Americans lose weight, as more than two-thirds of the country's citizens are overweight or obese, conditions linked to health problems like high blood pressure and diabetes.

    "We think, overall, these initial findings are positive," Dr. Lynn Silver, director of New York City's Office of Science and Policy and co-author of the report, told Reuters.

    "We're optimistic, as calorie labels go national, and consumers become accustomed to using the information that chains will have a strong incentive to offer lower calorie options," she said.

    Restaurant chains have begun to include lighter fare on their menus to help customers cut down on fat, sugar and sodium intake. The report cited examples at sandwich chain Cosi, which began using low-fat mayonnaise in its sauces, while coffee chain Starbucks made low-fat milk as its default and Applebee's introduced a menu with dishes under 550 calories.

    All of these changes came after the New York calorie label law came into effect, the study said.

    Separately on Tuesday, McDonald's said it will soon cut the french fry servings in its children's Happy Meals by more than half and add apple slices to every meal.

    The New York city report surveyed the lunchtime crowd at 11 fast-food restaurant chains, looking at receipts for more than 7,300 people 12 months before the law took effect and for nearly 8,500 customers nine months after it was implemented.

    For the three main restaurant chains studied, customers on average bought 44 fewer calories at McDonald's, 80 fewer calories at Au Bon Pain and 59 fewer calories at KFC.

    Subway, the popular sandwich chain, saw a significant increase during the survey because of its promotional offer for a $5, foot-long sandwich. The other chains saw little change in their customers' purchases.

    Earlier this year, a study published in the International Journal of Obesity, found New York City's label law had little affect on the food children chose to order.

    While both studies focus on New York City's 2008 law, people across the country are keeping a close eye on the results.

    President Barack Obama's 2010 healthcare overhaul mandates a similar requirement nationwide in an effort to curb the U.S. obesity epidemic.

    In 2009, the Centers for Disease Control and Prevention estimated that at least 20 percent of adults in all states, except Colorado, were obese. The CDC also said medical costs related to obesity were estimated to be as high as $147 billion in 2008.

  • Wednesday, July 27, 2011

    Scheduling 'worry time' may help you fret less

    For those concerned with shedding some of their anxieties, it seems planning a certain time every day to worry may help stop the stress-out cycle.

    When people with adjustment disorders, burnout or severe work problems used techniques to confine their worrying a single, scheduled 30- minute period each day, they were better able to cope with their problems, a new study by researchers in the Netherlands finds.

    The study made use of a technique, called "stimulus control," that researchers have studied for almost 30 years. By compartmentalizing worry â€" setting aside a specific half-hour period each day to think about worries and consider solutions, and also deliberately avoiding thinking about those issues the rest of the day â€" people can ultimately help reduce those worries, research has shown.

    "When we're engaged in worry, it doesn't really help us for someone to tell us to stop worrying," said Tom Borkovec, a professor emeritus of psychology at Penn State University. "If you tell someone to postpone it for a while, we are able to actually do that."

    The new study was published in the July issue of the Journal of Psychotherapy and Psychosomatics.

    Four steps

    While the new study was small (it began with 62 patients, and a number of them dropped out), the researchers found that people who used worry reduction techniques before beginning therapy regimens reduced their anxiety, stress and depressive symptoms significantly more than people using only standard anxiety treatments.

    Four steps are involved in the stimulus control therapy to reduce worrying, according to Borkovec, who was not involved in the new research but was part of the group that developed stimulus control therapy for worry in the early 1980s.

    First, patients must identify and realize when they are worrying. Second, they must set aside a time and place to think about these worries. Third, when they catch themselves worrying, they must postpone worrying, and instead focus on the task at hand. Finally, patients are told to use the time they've set aside for worrying to try and solve the problems their worries present.

    In the Dutch study, even patients who only performed the first step  did better than those who only received the treatments for their anxiety disorders (though they did not do as well as those who completed all four steps of the therapy), the study showed.

    "The stimulus control program was more effective â€" especially after the stress management program [the researchers] put [the participants] through subsequently â€" than treatment as usual," Borkovec said.

    Get 'a little bit' over it
    The findings "raise the idea that some treatments may be more effective if you help people to get a little bit over their worry," Borkovec said. He also noted that the study should be repeated with larger groups of people.

    Worrying excessively, and the stress that can result, may have a physical effect on bodily health. Avoiding that excess worry can be aided by similar techniques to those that are used to curb overeating, the study said.

    People who overeat are advised to set up a specific time and place to eat. People who eat in front of the TV may find over time that simply watching TV can trigger their hunger. Similarly, people who worry frequently may find that places where they worry can trigger those worries in the future, the study showed.

    However, Borkovec noted, like many other treatments, simply trying out the technique might provide a placebo effect that helps treat a person's anxiety.

    He said, "It could set up a positive expectancy that results in the actual change, and that could be an example of the placebo effect."

  • Tuesday, July 26, 2011

    Ditinggal Ibu Bekerja Tak Akan Bikin Anak Hiperaktif


    foto: ThinkstockLondon, Selama ini wanita karir sering cemas meninggalkan anaknya di rumah, sebab anak-anak yang tidak didampingi ibunya dikhawatirkan rentan mengalami gangguan perilaku. Namun menurut penelitian, anak tetap tumbuh normal meski ibunya bekerja.

    Peneliti dari University College London, Dr Anne McMunn mengungkap hal itu setelah melakukan pengamatan terhadap 13.000 anak di Inggris. Anak-anak dari berbagai latar belakang pekerjaan orangtua itu diamati saat baru lahir, lalu diamati lagi perilakunya pada umur 3 dan 5 tahun.

    Hailnya, tidak ada perbedaan yang signifikan pada perilaku anak-anak yang ibunya bekerja dibandingkan dengan anak-anak yang ibunya selalu ada di rumah. Kesimpulan ini menenteramkan 64 persen wanita karir di Amerika Serikat yang tercatat masih memiliki anak balita.

    Bahkan menurut penelitian tersebut, perkembangan perilaku pada anak-anak yang selalu ditinggal bekerja oleh kedua orangtuanya justru lebih baik dibandingkan jika kedua orangtuanya adalah pengangguran. Hal ini lebih dipengaruhi oleh faktor pendapatan dalam keluarga.

    Meski secara umum tidak terpengaruh oleh pekerjaan orangtua khususnya ibu, anak laki-laki lebih rentan mengalami gangguan perilaku jika ibunya pengangguran. Hal yang sama juga dialami oleh anak perempuan, yang rentan menjadi hiperaktif jika ayahnya tidak punya pekerjaan.

    "Wanita karir tidak perlu merasa bersalah saat meninggalkan anaknya di rumah, selama ada yang mengurusnya. Justru karir seorang ibu memberi pengaruh positif bagi keuangan keluarga dan juga teladan bagi anak-anaknya," ungkap Dr McMunn seperti dikutip dari WebMD, Senin (25/7/2011).

    Sebelumnya, banyak yang meyakini bahwa karir seorang ibu bisa membuat anaknya terlantar dan rentan mengalami gangguan perilaku antara lain GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas). Namun dengan penelitian baru ini, para ibu tidak perlu cemas untuk menjalankan karir sembari tetap mengurus anak.

    Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam Journal of Epidemiology and Community Health.
    up/ir)





    detikhealth.com

    Vaksin untuk Melawan Kecanduan Heroin Tingkat Tinggi


    (Foto: thinkstock)Jakarta, Lepas dari kecanduan heroin adalah suatu hal yang sulit. Kini peneliti dari The Scripps Research Institute telah mengembangkan vaksin yang sangat sukses melawan kecanduan heroin tinggi.

    Studi baru yang diterbitkan dalam American Chemical Society's Journal of Medicinal Chemistry menunjukkan bahwa vaksin yang diciptakan bisa menghasilkan antibodi (molekul kekebalan) yang dapat menghentikan efek euforia yang ditimbulkan dari heroin dan senyawa psikoaktif lainnya.

    "Dalam waktu 25 tahun saya membuat vaksin untuk penyalahgunaan obat, saya belum pernah melihat adanya respons kekebalan kuat seperti yang dimiliki untuk vaksin anti-heroin," ujar peneliti utama Kim D Janda dari The Skaggs Institute for Chemical Biology at Scripps Research, seperti dikutip dari Sciencedaily, Senin (25/7/2011).

    Janda menuturkan vaksin ini sangat efektif dan diharapkan nantinya bisa menjadi salah satu pilihan terapi dalam membantu orang-orang yang berusaha terlepas dari kecanduan heroin.

    Kini usaha dari para peneliti selama 4 dekade terakhir untuk menciptakan vaksin heroin bisa terbilang hampir mendekati keberhasilan. Dibutuhkannya waktu yang lama karena heroin merupakan target yang sulit dipahami metabolismenya.

    Dalam studi baru ini, tim peneliti dari Scripps Research menggunakan pendekatan dinamis yang tidak hanya menargetkan heroin itu sendiri tapi juga bahan kimia lain yang didegradasi menjadi 6-acetylmorphine (6AM) dan morfin.

    "Heroin bersifat lipofilik dan cepat terdegradasi menjadi 6-acetylmorphine (6AM). Keduanya mudah melintasi blood-brain barrier sehingga bisa mencapai reseptor opiod di otak," ujar Neil G Stowe.

    Vaksin heroin ini sangat spesifik yang berarti hanya menghasilkan respons antibodi terhadap heroin serta 6-acetylmorphine, dan tidak untuk obat opioid lain seperti oxycodone, metadon, naltrexone dan nalakson.

    "Hal ini penting karena berarti vaksin anti-heroin bisa digunakan dalam kombinasi dengan terapi rehabilitasi lainnya," ujar Janda.
    ver/ir)





    detikhealth.com

    Kids with ADHD have trouble crossing streets

    Children with attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) have more trouble avoiding traffic when crossing streets than other children, a new study suggests.

    Researchers from the University of Alabama at Birmingham used a computer-generated street intersection to see if 39 children, ages 7 to 10 with ADHD crossed the street less safely than 39 ADHD-free kids.

    Previous research has shown that children with ADHD have a greater risk for general injuries, and adults with ADHD tend to be riskier drivers.

    "We expected that the kids with ADHD maybe weren't displaying the appropriate curbside behaviors," said study co-author Despina Stavrinos, an assistant professor at the University of Alabama at Birmingham Injury Control Research Center.

    But children with ADHD looked both ways before crossing the street, just like the control group. The difference was that they opted to cross under more dangerous conditions.

    Close to getting hit
    "We looked at, for example, how much time they left to spare. When is the next car coming though?" Stavrinos said. "They were pretty close to getting hit."

    Story: Mother-child bond takes stressful toll when kid has ADHD

    The kids in the study were being treated at three local clinics, and had been diagnosed with clinical ADHD. The children stopped taking ADHD medication at least 24 hours before the trials. Researchers controlled for parent education and household income.

    Researchers first asked the children to cross a 25-foot distance to determine their average walking speed. Then the kids were acclimated to a virtual street-crossing consisting of three screens and a wooden curb.

    On the screens, researchers displayed a virtual road with traffic coming in both directions. For the test, the children stepped off the wooden curb onto a pressure plate when they felt it was safe to cross. Each kid repeated the task 15 times.

    Researchers used electronics to record measures of the child's performance â€" the time between vehicles, the number of hits and close calls, the time left to spare, and how long the child waited to cross the street after the last car passed. Video captured how many times the child looked left or right before crossing.

    The ADHD group "displayed appropriate curbside behaviors, just like the typically developing controls â€" the kids without ADHD," Stavrinos said.

    The children with ADHD looked both ways; however, they crossed when it was less safe. They crossed when the gaps in traffic were smaller, and had less time left to spare when they reached the other side of the street, for example.

    Differences in decision-making
    The difference is decision-making, Stavrinos said. The kids with ADHD seemed to be acquiring all the same information as the controls, but were less effective at processing that information.

    This brain function, called executive function, "has been defined as a core deficit in ADHD," Stavrinos said. "Our study is among the first to consider executive function in the context of pedestrian safety."

    That executive dysfunction played a role in risky street crossings for children with ADHD is no surprise, said Russell Barkley, a clinical professor of psychology at the Medical University of South Carolina.

    "ADHD really is a disorder of executive function," Barkley said. "We already knew that."

    Barkley explained that executive dysfunction in people with ADHD often affects self-awareness, inhibition, working memory, self-motivation and emotional self-control. Also, people with ADHD have an awareness of time, but have trouble applying time to their own behavior.

    "They start to cross the street and they have ten seconds, but they act like they have all the time in the world," Barkley said. "They can't use that sense of time to program what they need to do to get it done. Time is the enemy of anyone with ADHD."

    Using simulators isn't perfect, but it is a proven, ethically acceptable way to safely test probable real world behavior, Barkley said.

    One weakness is that the study authors didn't control for IQ, Barkley said. Children with ADHD score 7 to 10 points lower on IQ tests on average, he said. "They would need to have measured IQ and then corrected for it statistically," he said.

    The study is useful because it tells parents that training children to look both ways before crossing a street isn't enough. "You have to monitor ADHD children much more than other children," Barkley said. "Putting them through a safety class isn't going to change that they are unsafe."

    Stavrinos agreed.

    In the future, Stavrinos hopes to conduct a similar test with children while they're taking ADHD medication to see if their street-crossing behavior is any safer. She'd also like to follow the children into adulthood to study whether they become risky drivers.

    Pass it on: Crossing streets may be more dangerous for kids with ADHD. Parents of these children may need to monitor them more closely.

  • Tips Aman Saat Donor Darah


    foto: ThinkstockJakarta, Banyak orang takut melakukan donor darah dengan bermacam alasan. Tapi dengan mengikuti beberapa saran sebelum, selama dan setelah donor darah maka bisa membantu membuat pengalaman donor darah menjadi aman dan menyenangkan.

    Seperti dilansir dari International Committee of the Red Cross (ICRC), Senin (25/7/2011) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar acara donor darah Anda menjadi lancar.

    Sebelum melakukan donor

    Jaga kadar zat besi yang sehat dalam makanan dengan mengonsumsi makanan kaya zat besi, seperti bayam, daging merah, ikan, unggas, kacang-kacangan, sereal yang diperkaya zat besi dan kismis Tidur malam yang baik. Minum 16 ons air dan cairan tambahan sebelum donor. Makan makanan yang sehat sebelum mendonor. Hindari makanan berlemak, seperti hamburger, kentang goreng atau es krim. Tes infeksi dilakukan pada semua darah yang disumbangkan dapat dipengaruhi oleh lemak yang muncul dalam darah selama beberapa jam setelah makan makanan berlemak. Untuk donor trombosit, ingatlah bahwa tubuh harus bebas dari aspirin selama dua hari sebelum donor. Ingatlah untuk membawa kartu donor, SIM atau kartu pengenal lain.
    Selama melakukan donor

    Kenakan pakaian dengan lengan yang dapat dinaikkan ke atas siku. Biarkan petugas donor darah lengan mana yang disukai untuk diambil darahnya dan tunjukkan setiap pembuluh darah yang telah digunakan untuk mengambil darah dengan baik. Tenang, dengarkan musik, berbicara dengan donor lain atau membaca selama proses sumbangan. Luangkan waktu untuk menikmati makanan ringan dan minuman di area minuman segera setelah menyumbangkan.
    Setelah melakukan donor

    Minum banyak cairan selama 24-48 jam berikutnya untuk mengisi setiap cairan yang terambil. Hindari aktivitas fisik berat atau angkat berat selama sekitar lima jam setelah donasi. Jika kepala terasa ringan, berbaringlah dengan kaki ditinggikan sampai perasaan itu hilang. Jika pendarahan terjadi setelah perban dilepas, tekan titik bekas jarum dan angkatlah tangan selama 3-5 menit. Jika perdarahan atau memar terjadi di bawah kulit, lakukan kompres dingin ke daerah tersebut secara berkala selama 24 jam pertama. Nikmati perasaan baik yang muncul karena mengetahui bahwa Anda mungkin telah menyelamatkan tiga nyawa.  
    ir/ir)





    detikhealth.com

    Worrying about worrying: What it's like to grow up with OCD

    When other young girls worried about boys and lip gloss, Traci Foust worried about worrying. She also worried about swallowing pencils and knives and whether she would inadvertently burn down her house, kill her family, be sent to an orphanage and then be murdered herself. For nearly three decades, Foust has lived with a diagnosis of obsessive-compulsive disorder.
    To help calm her fears, she pulled her hair, snapped her fingers after hearing the word â€Å“God,â€� made sure her collection of Catholic saint statues always faced north, and forced her cat to scratch her.
    For more stories like this one, "like" TODAY Health on Facebook.
    In her memoir, "Nowhere Near Normal" (Simon & Schuster 2011), Foust, 39, chronicles her OCD journey as a child and young adult. She talks to Today.com about what it̢۪s like living with OCD then and now.
    Q: Popular media often portrays people with OCD as simply quirky. What̢۪s the reality?
    A: The reality is that you have a hard time holding down a job; you have a hard time being with people. We̢۪re afraid of a lot of things, and we̢۪re irritated most of the time because of over-sensory issues. For me, it̢۪s bright lights, noise and a lot of people.
    Q: So OCD is still a struggle?
    A: I don̢۪t want anyone to get the idea that everything is sunshine and rainbows. I still have to control the OCD with therapy and medication.
    Q: It̢۪s 2011, but according to studies there's still a huge stigma attached to mental health issues. Do you feel stigmatized?
    A: Absolutely. I hear people say: â€Å“Oh my God, you’re in your thirties, you should be off your meds.â€� People can make you feel like a loser because of the medication, without even knowing how the drugs work. Some people think you should be able to control these (mental health) problems on your own. If someone can control what they believe is a mental health issue on their own I guarantee they don’t have a clinical diagnosis.
    Q: Do you remember when you first felt, well, different?
    A: I think if you ask this question to anyone with OCD, they’ll tell you the same thing: I always felt weird; I always felt something wasn’t right. I don’t even remember ever being completely relaxed or being able to have fun in the moment. There was always a continuous running dialogue of â€Å“what-ifs.â€�
    Q: When were you diagnosed?
    A: At about age 12.  I was misdiagnosed as schizophrenic before that because a neurologist misunderstood me. When he asked me if I heard voices, I told him my mom and sister talked about me behind my back. He told my mom I was schizophrenic. That set off a lot of drama. About six months later my psychiatrist stepped in and said it was OCD, not schizophrenia.
    Q: So that was better?
    A: It felt like a relief. I was given all kinds of pamphlets to read. It comforted me that kids my age had this, too. One of the pamphlets said that teens spent 83 percent of time worried about what other people think of them. That helped.  One of the things they tell you in group therapy is that nobody is looking at you. They’re worried about what people are thinking about them. That’s such a release.
    Q: When did you go on medication? 
    A: Not until my early 20s. I was put on Buspar and Prozac, and I felt like an entirely different person. I was able to read two gigantic books without worrying about germs or worrying about worrying about germs.
    Q: Do you have any advice for parents who are concerned about their kids?
    A: The most important thing I can tell any parent that suspects anxiety issues is that for everything that you hear from your child there is something horrific that your child isn̢۪t telling you because they̢۪re embarrassed by it. Parents have to say: I feel there is more you want to me tell me, and when you̢۪re ready, know that nothing is going to make me think you̢۪re a bad person.
    Q: What̢۪s life like today?
    A:  I still have a fear of fire and I don’t go out in the sun. I still have rituals, like checking under the beds, and checking the windows.
    Q: Â What about relationships?
    A:  I’ve been married three times and have two wonderful sons. I have a great boyfriend now, who understands me. Anxiety issues make you feel like you have to be in control of everything. I don’t blame my OCD for failed relationships. I blame my lack of knowledge on what a relationship was supposed to be.
    Q: I̢۪ve had people tell me that they̢۪re glad they have a particular mental health disorder since it makes them more creative, able to see the world differently.
    A: I don̢۪t know about that. I wonder what life would be like if I was diagnosed earlier or if I got medication earlier. There are times when I would love to go to the mall or movies without having a pill in my purse.
    Q: In your book you talk about problems with germs and lunch meat and your fear of killing your family if the lunch meat wasn̢۪t wrapped properly. What̢۪s it like making a sandwich today?
    A: No one goes hungry. It just takes me longer and there̢۪s a lot of plastic and counter wiping. I̢۪d be lost without antibacterial wipes and a dust buster.
    Joan Raymond is a freelance journalist whose work has appeared on msnbc.com, Newsweek, the New York Times, MORE and Woman's Day.
    Reprints

    Monday, July 25, 2011

    Bakat Seni Muncul Setelah Hidup dengan Otak Separuh


    Taisia ​& ibundanya (Foto: dailymail)St Petersburg, Rusia, Otak adalah bagian penting dari tubuh manusia. Seorang gadis asal St Petersburg Rusia harus berjuang hidup dengan otak separuh pasca kecelakaan hebat. Tapi hidup dengan otak separuh justru membuat gadis ini menemukan kemampuan seni baru yang luar biasa.

    Taisia ​​Sidorova, gadis 21 tahun dari St Petersburg Rusia, harus berjuang keras untuk hidup setelah mengalami kecelakaan tiga tahun lalu yang membuat tengkoraknya hancur setengah dan fragmen tulang terjepit di otaknya.

    Kondisi tersebut membuat dokter harus memotong belahan kiri otaknya yang rusak, yang bertanggungjawab untuk kemampuan logika dan analisis, serta menempatkan pelat pelindung dalam kepalanya.

    Saat itu, dokter tidak berharap banyak untuk pemulihan dan memperingatkan ibunya bahwa Taisia kemungkinan akan cacat selama sisa hidupnya.

    Tetapi perlahan dan dukungan cinta keluarganya, Taisia kembali sadar dan mulai berbicara dan akhirnya dokter mengizinkannya pulang.

    "Dia butuh istirahat dan memulihkan kekuatan disini. Dia masih harus menjalani operasi untuk membangun kembali tengkoraknya," jelas Irina Sidorova, ibunda Taisia, seperti dilansir Dailymail, Senin (25/7/2011).     Pada masa pemulihan, Taisia harus menjalani terapi seperti belajar membuat sketsa. Ia mulai belajar membuat sketsa meskipun dia tidak pernah tertarik dengan hal itu sebelumnya.

    Namun, ternyata hasil sketsa yang dibuat Taisia menunjukkan hasil yang sangat baik, terlebih bagi orang yang hanya hidup dengan otak separuh.

    "Saya tidak akan pernah menilai kemampuan artistiknya sebelum ia menjadi orang baru seperti sekarang. Dia memiliki bakat alami untuk seni. Ini luar biasa," jelas guru seni Ludmilla Ostrowski.

    Ibundanya mengatakan, Taisia seperti sayuran yang masih segar. Dokter tidak percaya dia akan bertahan. "Saya tidak mau menerimanya dan saya tetap berada di samping tempat tidurnya dan berdoa, memijat dan berbicara kepadanya," jelas Irina.

    Menurut Irina keajaiban yang terjadi pada Taisia terjadi pada malam tahun baru ketika ia menangis di samping tempat tidur putrinya. Taisia kemudian mengangkat lengannya untuk menyeka air mata ibunya.

    Dua tahun kemudian Taisia belajar cara memegang pensil di tangan kirinya sebelum akhirnya membuat sebuah cat kuas.

    "Otak manusia adalah hal yang luar biasa. Dalam kasus ini, bagian yang tersisa tampaknya telah mengalami perkembangan untuk mengimbagi bagian yang hilang dan pada saat yang sama memberinya bakat yang sebelumnya belum ditemukan untuk seni," jelas dokter yang menanggani Taisia.

    Dokter dalam pengobatan moderen masih akan sesekali melakukan operasi untuk mengeluarkan setengah dari otak dalam kasus orang yang menderita kondisi lain, seperti kejang parah sehingga membuat pasien tak bisa memiliki kehidupan yang normal.

    Penelitian yang dilakukan oleh neurolog John Freeman dari Johns Hopkins University menunjukkan bahwa pasien yang lebih muda lebih sering menjalani hemispherectomy (prosedur bedah langka dimana salah satu cerebral hemisphere atau setengah bagian otak dikeluarkan). Menurut Freeman, pasien yang lebih muda akan semakin besar kemungkinannya untuk pulih.

    "Anda dapat berjalan, berlari, menari atau melompat, tapi Anda kehilangan kemampuan tangan yang berlawanan dengan belahan otak yang telah dikeluarkan," jelas Freeman.

    Taisia kehilangan belahan otak kirinya, yang akan membuat gerakannya terbatas di tangan kanan serta penglihatan. Namun kini ia memiliki kemampuan seni luar biasa di tangan kirinya.


    mer/ir)





    detikhealth.com

    Bupropion, Obat Anti Depresan untuk Berhenti Merokok


    (Foto: thinkstock)Deskripsi
    Bupropion adalah obat antidepresi yang mempengaruhi bahan kimia dalam neurotransmitter. Neurotransmitter merupakan senyawa kimia dalam otak yang berfungsi mengirim pesan dari satu saraf ke saraf lain.

    Banyak ahli percaya bahwa depresi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara jumlah neurotransmiter yang dilepaskan dalam otak. Saraf dapat mendaur ulang neurotransmiter yang dilepaskan, proses ini disebut reuptake.

    Bupropion bekerja dengan cara menghambat reuptake dopamin, norepinefrin, serotonin, serta tindakan yang mengakibatkan dopamin, serotonin, dan norepinefrin mengirimkan pesan ke saraf lainnya secara berlebihan.

    Indikasi
    Bupropion digunakan untuk mengatasi depresi berat dan gangguan Seasonal Affective Disorder (depresi yang terjadi terutama selama musim gugur dan musim dingin). Untuk perokok berat, obat ini dapat mengurangi gejala putus nikotin (withdrawal syndrome) antara lain cemas, pusing, sulit konsentrasi, insomnia, tekanan darah turun, dll.

    Dosis

    Bupropion biasanya diberikan dalam satu, dua atau tiga dosis harian. Untuk tablet, dosis tunggal tidak boleh melebihi 150 mg dan diberikan dengan rentang waktu 6 jam. Untuk depresi, dosis tablet yang dianjurkan 3 kali sehari 100 mg (300 mg / hari), dosis maksimum 450 mg sehari. Dosis awal 100 mg dua kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 100 mg 3 kali sehari setelah tiga hari. Dosis tablet untuk pemakaian awal dan berkelanjutan adalah 150 mg sehari; target dosisnya 150 mg dua kali sehari, dosis maksimum 200 mg dua kali sehari. Dosis tablet untuk pemakaian awal jangka panjang tablet 150 mg sehari, target dosisnya 300 mg sehari, dosis maksimum 450 mg sehari. Untuk menghentikan kebiasaan merokok, dosis bupropion biasanya dimulai dengan 150 mg sekali sehari selama tiga hari, dosis kemudian ditambah jika pasien mentolerir dosis awal. Umumnya kebiasaan merokok berhenti setelah dua minggu dimulainya terapi bupropion. Meskipun demikian, penggunaan obat ini belum banyak di Indonesia dan harus memakai resep dokter.
    sumber: medicinenet
    ir/ir)





    detikhealth.com

    Smartphone Bisa Bikin Mata Cepat Rusak


    (Foto: thinkstock)New York City, Penggunaan smartphone tampaknya semakin umum di kalangan masyarakat Indonesia. Tapi berhati-hati, penelitian baru menunjukkan smartphone bisa membuat mata pemiliknya cepat rusak.

    Penelitian baru menunjukkan orang-orang yang membaca pesan teks atau browsing internet di smartphone cenderung memegang perangkat canggih ini lebih dekat ketimbang saat membaca buku atau surat kabar, sehingga memaksa mata bekerja lebih keras dari biasanya.

    Menurut penelitian yang telah dipublikasikan pada Optometry and Vision Science edisi Juli ini, jarak pandang yang dekat ditambah dengan ukuran huruf yang kecil pada smartphone, bisa menambah beban pada orang yang sudah memakai kacamata atau lensa kotak.

    "Faktanya orang yang memegang smartphone pada jarak dekat berarti mata harus bekerja jauh lebih sulit untuk fokus. Mata harus bekerja lebih keras bisa membuat gejala seperti sakit kepala dan ketegangan mata," jelas Dr. Mark Rosenfield, seorang profesor di SUNY State College of Optometry di New York City, seperti dilansir Healthday, Senin (25/7/2011).

    Dr. Rosenfield juga mengatakan SMS dan web browsing pada smartphone dapat membuat mata kering, ketidaknyamanan dan penglihatan kabur setelah penggunaan jangka panjang. Penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa sampai 90 persen orang yang menggunakan komputer mengalami masalah mata.

    Dr. Rosenfield mendapatkan ide penelitian ini karena sering melihat orang di atas kereta yang menggunakan smartphone sangat dekat dengan mata mereka. Mengingat semakin banyak orang dewasa dan anak-anak yang menggunakan smartphone untuk menulis dan menerima pesan atau mencari review restoran, masuk akal untuk mengukur persis seberapa dekat orang-orang memegang ponsel mereka.

    Penelitian ini relatif sederhana. Pada tahap awal, sekitar 130 relawan dengan usia rata-rata 23,2 tahun diminta untuk memegang smartphone saat membaca pesan teks. Dalam percobaan yang berbeda, 100 peserta dengan rata-rata usianya 24,9 tahun, yang selanjutnya diminta untuk menahan smartphone mereka ketika membaca sebuah halaman web. Peneliti kemudian mengukur jarak antara perangkat dan mata serta ukuran huruf yang digunakan.

    "Ketika membaca teks tercetak di koran, buku dan majalah, jarak kerja rata-rata mendekati 16 inci (40 cm) dari mata, tapi relawan penelitian yang mengirim pesan teks dengan smartphone rata-rata hanya sekitar 14 inci (35,5 cm). Pada beberapa orang bahkan sedekat 7 inci (18 cm)," jelas Dr. Rosenfield.

    Sedangkan saat melihat halaman web, jarak kerja rata-rata adalah 12,6 inci (32 cm).

    "Font (huruf) pada pesan teks cenderung sedikit lebih besar, rata-rata sekitar 10 persen dari huruf mencetak koran, tapi huruf halaman web hanya 80 persen ukuran cetak koran dan dalam beberapa kasus bahkan sekecil 30 persen," kata Rosenfield.

    "Tapi ada cara sederhana bagi pecandu smartphone untuk meminimalkan ketegangan mata, yaitu dengan meningkatkan atau memperbesar ukuran huruf pada perangkat Anda," saran Dr. Scott MacRae, profesor ilmu oftalmologi dan visual yang juga ahli bedah mata di University of Rochester Medical Center.



    mer/ir)





    detikhealth.com

    Orang Sibuk Hanya Punya Waktu Makan Seharian 39 Menit


    foto: ThinkstockLondon, Kesibukan yang tinggi sangat menyita waktu, sehingga kebanyakan orang selalu terburu-buru saat makan. Sebuah penelitian mengungkap, orang sibuk rata-rata hanya punya waktu 39 menit 19 detik dalam sehari untuk sarapan hingga makan malam.

    Dari total waktu makan dalam sehari, durasi yang paling singkat adalah waktu sarapan yakni rata-rata hanya 7 menit 20 detik. Bagi yang sangat terburu-buru saat sarapan, menu yang dipilih biasanya sangat praktis misalnya sereal atau roti panggang isi telur.

    Rata-rata waktu makan siang sedikit lebih panjang, yakni sekitar 12 menit 49 detik. Meski waktunya sedikit lebih longgar, menu yang dipilih juga seringkali tidak sehat antara lain berbagai jenis fast-food, mulai dari sandwich hingga ayam dan kentang goreng.

    Itupun, tidak semua orang bisa memenuhi kebutuhan makan siang tepat waktu. Penelitian sebelumnya menunjukkan 2,9 juta pekerja di Inggris khususnya yang bekerja dengan deadline ketat terpaksa makan siang sebelum jam 11, sementara 10 juta orang baru bisa makan setelah jam 3 sore.

    Waktu terpanjang dalam sehari yang digunakan untuk makan adalah saat makan malam, yakni rata-rata 19 menit. Total dalam sehari, rata-rata orang hanya punya waktu sarapan, makan siang dan makan malam kurang dari 40 menit atau tepatnya 39 menit 19 detik.

    Terkait minimnya waktu yang tersedia untuk makan, 78 persen responden menginginkan waktu yang lebih panjang untuk makan. Selain itu, 90 persen responden juga merindukan saat-saat berkumpul dengan keluarga untuk makan bersama yang sangat jarang dilakukan saking sibuknya.

    Selain menyita waktu makan, padatnya jadwal kerja manusia moderen juga membuat aktivitas makan terganggu oleh kegiatan lain terutama nonton TV. Sebanyak 31 persen responden selalu tergoda untuk nonton TV saat sarapan dan 51 persen nonton TV saat makan malam.

    "Kita hidup dalam masyarakat yang sangat berorientasi pada makanan. Banyak tayangan dokumenter tentang makanan, acara TV tentang makanan dan buku-buku tentang makanan, tapi kebanyakan orang justru tidak punya waktu untuk menikmati makanannya," ungkap sang peneliti, Dr Richard Woolfson seperti dikutip dari Dailymail, Senin (25/7/2011).

    Penelitian yang dilakukan di Inggris ini didanai oleh sebuah perusahaan makanan, President Cheese. Sayangnya tidak disebutkan lebih detail, berapa banyak responden yang dilibatkan dalam penelitian ini.
    up/ir)





    detikhealth.com

    Saturday, July 23, 2011

    3 Kota di Indonesia yang Layak untuk Anak


    (Foto: detikHealth)Jakarta, Bertepatan dengan Hari Anak Nasional yang diperingati 23 Juli ini, pemerintah melalui Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memberikan penghargaan untuk 3 Kota Layak Anak. Ketiganya adalah Surakarta (Jateng), Pontianak (Kalbar) serta Badung (Bali).

    Kota Badung yang terletak di Provinsi Bali menerima penghargaan sebagai kota layak anak kategori Nindya, kota Surakarta untuk kategori Madya sedangkan kota Pontianak untuk kategori Pratama. Penghargaan tersebut diberikan dalam puncak acara peringatan Hari Anak Nasional 2011 yang digelar di Hall Rama Sinta, Dunia Fantasi, Ancol, Sabtu (23/7/2011).

    Secara simbolis, ketiga kota tersebut mewakili 10 kabupaten/kota lain yang juga dinilai potensial untuk mengembangkan kota layak anak. Selengkapnya, 13 kabupaten/kota penerima penghargaan kota layak anak tahun 2011 adalah sebagai berikut.
    1. Kebumen
    2. Sleman
    3. Grobogan
    4. Deli serdang
    5. Pontianak
    6. Brebes
    7. Sukabumi
    8. Solo
    9. Tulungagung
    10. Surabaya
    11. Denpasar
    12. Rembang
    13. Badung

    Kota-kota yang mendapat penghargaan ini dipilih berdasarkan sejumlah kriteria yang telah ditentukan. Selain harus menjamin kesempatan pendidikan, kota layak anak juga harus menyediakan lingkungan dan sarana rekreasi untuk memenuhi kebutuhan bermain anak.

    Tak ketinggalan, kota layak anak juga harus memberikan jaminan sosial dan kesehatan yang dibutuhkan oleh ibu hamil dan anak-anak. Salah satunya untuk memenuhi pencapaian target Millenium Development Goals yakni menekan angka kematian ibu dan anak.

    Perlunya jaminan kesehatan sesuai dengan imbauan Wakil Presiden Indonesia, Boediono. Dalam sambutannya, Boediono mengatakan bahwa program-program pemerintah seperti Jampersal (Jaminan Persalinan) perlu ditingkatkan cakupan dan efektifitasnya.

    "Tingkat kematian bayi di Indonesia masih tinggi, bahkan di beberapa daerah masih sangat tinggi," ungkap Boediono dalam pidatonya menyambut Hari Anak Nasional 2011 yang diperingati hari ini di Ancol Jakarta.
    up/ir)





    detikhealth.com

    Tambah Umur Tambah Berat Badan


    (Foto: thinkstock)Jakarta, Apakah Anda mengalami penambahan berat badan seiring dengan usia yang semakin bertambah? Meskipun bermacam usaha sudah dilakukan, termasuk diet dan berolahraga, namun agaknya penambahan berat badan merupakan efek samping dari pertambahan umur.

    Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa berbagai pilihan gaya hidup ikut mempengaruhi berat badan, jadi bukan hanya jumlah kalori dalam diet saja. Penelitian ini melibatkan lebih dari 100.000 pria dan wanita yang berada dalam kesehatan yang baik dan tidak mengalami obesitas (kegemukan).

    Berat badan, diet dan kebiasaan atau gaya hidup partisipan dilacak selama 20 tahun. Hasilnya, berat badan tampak merayap ke atas saat usia bertambah. Kenaikan berat badan paling sedikit partisipan kurang dari 1 kg setiap 4 tahun, tapi kebanyakan kenaikannya lebih dari 1 kg.

    Yang mengejutkan para peneliti seperti dilansir Mayoclinic, Sabtu (23/7/2011) adalah bahwa makanan tertentu secara langsung terkait dengan berat badan lebih lanjut. Makanan yang paling menambah berat badan itu adalah:
    1. Keripik kentang
    2. Kentang goreng
    3. Daging dan daging olahan

    Faktor-faktor yang membuat berat badan bertambah bersamaan dengan bertambahnya umur adalah:

    Konsumsi kalori cair. Minuman beralkohol dan jus buah dikaitkan dengan peningkatan berat badan secara kecil namun bertahap. Minuman manis yang mengandung gula merupakan kontributor utama penambahan berat badan. Gaya hidup ikut mempengaruhi kenaikan berat badan dimana saat ini makin sedikit orang yang jalan kaki, tidur cukup, dan hobi makan junk food. Tidur juga menjadi faktor penyebab kenaikan berat badan. Orang yang tidurnya 6-8 jam semalam cenderung memiliki berat badan stabil dan sedangkan mereka yang tidur kurang dari 6 jam atau lebih dari 8 jam punya kecenderungan naik berat badannya.
    Beberapa kebiasaan yang bisa mengerem laju berat badan seiring pertambahan usia adalah:

    Melakukan aktivitas fisik Membatasi waktu menonton TV. Tidur cukup 6-8 jam semalam Makan lebih dari beberapa jenis makanan dari sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan dan biji-bijian karena terkait dengan penurunan berat badan.  
    ir/ir)





    detikhealth.com

    Tarian Bali dari Anak-anak Down Syndrome yang Mengagumkan


    (Foto: detikHealth)Jakarta, Tujuh anak perempuan berlenggak-lenggok di panggung dengan iringan musik Bali. Tidak sempurna memang, sesekali ada yang kehilangan irama. Tapi yang mengagumkan, ketujuh penari yang tampil di hadapan Wapres Boediono ini adalah penderita Down Syndrome.

    Penampilan ketujuh penari yang dikoordinir oleh Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI) ini merupakan bagian dari acara puncak peringatan Hari Anak Nasional yang digelar di Hall Rama Sinta, Ancol, Jakarta, Sabtu (23/7/2011). Acara tersebut dihadiri oleh Wapres Boediono beserta istri, dengan didampingi sejumlah menteri termasuk menteri kesehatan.

    Meski disebut anak-anak Down Syndrome, sebenarnya para penari ini tidak semuanya berumur muda. Karena sebagian sudah berumur 30-an tahun, meski memang wajah dan perilakunya tetap polos dan canggung seperti anak-anak.

    Bagi penderita Down Syndrome, menyelaraskan gerakan tari dengan irama musik bukanlah hal yang mudah. Kelainan genetik yang dialaminya, membuat pertumbuhan fisik dan mental mengalami gangguan, termasuk untuk mengkoordinasikan berbagai gerakan otot dengan pendengaran.

    Di bawah dampingan ISDI, anak-anak Down Syndrome mendapat perhatian lebih agar keberadaannya tidak hanya menjadi beban bagi keluarga melainkan bisa ikut berprestasi. Dari 300-an anak dampingan ISDI, banyak yang sukses dan berprestasi di tingkat internasional.

    Salah satu ajang internasional unjuk kebolehan bagi anak-anak Down Syndrome adalah special olympic, yakni olimpiade olahraga khusus untuk penderita Down Syndrome. Di ajang yang digelar tiap 4 tahun ini, ISDI sebagai wakil Indonesia selalu mengantongi sedikitnya 1 medali emas.

    "Meski pertumbuhannya terganggu, hobi serta bakat anak-anak ini harus dibina," ungkap Aryanti R Yacub, ketua ISDI yang juga ibu dari Michael (20 tahun), pegolf satu-satunya di Asia Tenggara yang menderita Down Syndrome saat ditemui di Hall Rama Sinta, Ancol.

    Banyak orangtua khawatir bahwa anaknya yang menderita Down Syndrome tak bisa berumur panjang, tak bisa berjalan, berbicara atau menjalani hidup dengan bermakna. Tapi anak-anak Down Syndrome membuktikan bahwa mereka juga bisa berkarya.

    Menurut National Down Syndrome Society (NDSS), anak dengan Down Syndrome lahir dengan tiga bukan dua salinan kromosom 21. Anak dengan Down Syndrome memiliki kemampuan kognitif yang bervariasi, yang sangat parah anak biasanya tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari tanpa bantuan dari orang lain.

    Anak dengan Down Syndrome memiliki peningkatan risiko untuk cacat jantung, masalah pernapasan dan pendengaran, penyakit Alzheimer, leukimia dan kondisi tiroid. Tapi kondisi ini sekarang dapat diobati, sehingga dapat meningkatkan harapan hidup penderita Down Syndrome.
    up/ir)





    detikhealth.com

    Makan dengan Menu yang Sama Tiap Hari Bikin Cepat Kurus


    foto: ThinkstockWashington, Banyak orang mencoba diet namun gagal meski sudah mengubah-ubah menu makan. Menurut penelitian, kuncinya justru ada pada menu makan karena jika dalam seminggu menunya tidak diganti maka porsi makan akan berkurang dengan sendirinya.

    Secara naluriah, manusia punya 2 alasan untuk makan dengan porsi lebih besar yakni karena lapar dan karena makanannya enak. Faktor lapar tidak bisa dilawan karena merupakan sinyal bahwa tubuh perlu energi, sementara faktor enak bisa diakali.

    Menurut sebuah penelitian di Washington State University, habituasi atau kebiasaan memakan suatu makanan mempengaruhi persepsi tentang rasa enak. Sama seperti efek obat, jika terlalu sering dikonsumsi maka lama-kelamaan efeknya makin berkurang.

    Hal yang sama juga terjadi pada makanan enak, yang dalam penelitian ini dicontohkan dengan makaroni dan keju. Pada 32 partisipan yang dikondisikan untuk mengonsumsi makaroni dan keju tiap hari, setelah seminggu tidak lagi terasa enak sehingga porsinya akan berkurang 100 kalori.

    Lain halnya dengan 32 partisipan lain yang hanya diberi makaroni dan keju sebagai selingan. Meski sama-sama diberikan selama seminggu, karena setiap hari diselang-seling dengan makanan lain maka pada akhir penelitian porsi makaroni dan keju yang dikonsumsi justru naik 30 kalori.

    "Meal monotony atau pemberian menu makan yang sama setiap hari terbukti bisa mengurangi asupan kalori. Trik ini cukup efektif, tinggal dipadukan dengan konsep nutrisi yang seimbang," ungkap sang peneliti, Shelley McGuire seperti dikutip dari Foxnews, Sabtu (23/7/2011).

    Menurut McGuire, pemberian menu makan yang monoton akan memicu habituasi sehingga seseorang akan mulai kehilangan persepsi tentang rasa. Dalam pengertian yang lebih mudah, makan dengan makanan yang sama setiap hari akan membuat orang bosan sehingga porsinya akan berkurang dengan sendirinya.

    up/ir)





    detikhealth.com

    Risiko Kecelakaan di RS Lebih Besar Dibanding Naik Pesawat


    (Foto: thinkstock)Jakarta, Banyaknya peristiwa kecelakaan pesawat memberi kesan bahwa risiko kematian dalam penerbangan sangat tinggi. Padahal menurut WHO, risiko kecelakaan saat naik pesawat tak seberapa besar dibanding risiko kesalahan medis di rumah sakit.

    Baru-baru ini, organisasi kesehatan dunia atau WHO mengungkap bahwa risiko terjadinya kesalahan atau error di rumah sakit cukup tinggi yakni 1 di antara 10 pasien. Sementara risiko kematian akibat kesalahan tersebut tak kalah mengejutkan, yakni 1 di antara 300 pasien.

    Dibandingkan dengan risiko kematian dalam kecelakaan penerbangan, angka ini jauh lebih kecil. Jika diambil rata-rata dari seluruh penerbangan di dunia, risiko kematian akibat pesawat jatuh atau kecelakaan lainnya hanya sekitar 1 di antara 100 juta penumpang.

    Jenis kesalahan yang paling sering memicu kematian di rumah sakit adalah infeksi yang terjadi selama dirawat, atau disebut sebagai infeksi nosokomial (INOS). Dari ratusan juta kasus INOS tiap tahunnya, 50 persen bisa dicegah jika dokter dan paramedis rajin mencuci tangan dengan hand-rub alkohol.

    Risiko terjadinya INOS di negara maju adalah 7 dari 100 pasien, sedangkan di negara berkembang perbandingannya lebih besar yakni 10 dari 100 pasien. Baik di negara maju maupun berkembang, INOS paling sering terjadi di ruang Intensive Care Unit (ICU) dan Pediatric ICU.

    Khusus di Amerika Serikat, WHO mencatat tiap tahun terjadi 1,7 juta kasus INOS dengan korban tewas mencapai 100.000 jiwa. Tingkat kematiannya lebih tinggi dibanding Eropa dengan kasus INOS mencapai 4,5 juta/tahun namun korban tewas hanya 37.000 jiwa.

    "Layanan kesehatan adalah sebuah bisnis berisiko tinggi, karena berhubungan dengan orang sakit sementara tekanan dari lingkungan sangat besar," ungkap Liam Donaldson, seorang pejabat WHO untuk keselamatan pasien seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (23/7/2011).

    Karena berisiko tinggi, beberapa tindakan medis seperti operasi jantung harus dikerjakan oleh tim yang terdiri dari setidaknya 60 orang kru. Jumlah kru sebanyak itu setara dengan jumlah flight attendants atau awak kabin untuk menerbangkan sebuah pesawat jumbo jet.
    up/ir)





    detikhealth.com

    Prestasi Anak di Sekolah Bisa Diprediksi Sejak lahir


    foto: ThinkstockHelsingborg, Swedia, Ketekunan dan kerja keras untuk belajar paling menentukan prestasi bejalar di sekolah. Namun ada faktor lain yang mempengaruhinya, yakni kecerdasan dan kondisi bawaan pada beberapa fungsi organ yang bisa diperiksa sejak bayi baru lahir.

    Pemeriksaan kondisi bawaan yang bisa dipakai untuk memprediksi pretasi belajar di sekolah adalah Apgar, sebuah prosedur pemeriksaan bayi yang diperkenalkan oleh Dr Virginia Apgar di Amerika Serikat tahun 1952. hasil pemeriksaan ini dinyatakan dengan skor 1-10.

    Makin tinggi skor Apgar pada pemeriksaan tersebut, maka artinya berbagai sistem organ yang dimiliki bayi tersebut berfungsi dengan baik. Sementara jika skornya rendah, maka berarti ada kelaianan bawaan pada sistem organ tertentu yang mempengaruhi kesehatannya.

    Menurut penelitian terbaru di Swedia, skor Apgar tidak hanya menunjukkan kondisi kesehatan bayi secara fisik. Bayi-bayi yang memiliki skor Apgar di bawah 7 cenderung mengalami masalah dengan kecerdasan, sehingga kurang berprestasi di sekolah saat beranjak remaja.

    Kesimpulan ini merupakan hasil pengamatan para ahli dari Center Hospital di Helsingborg, terhadap 877.000 remaja usia sekolah yang tersebar di seluruh Swedia. Para ahli mengamati hasil ujian di sekolah, lalu mmbandingkannya dengan hasil tes Pagar yang dilakukan semasa kecil.

    "Sebenarnya bukan tes Apgar yang menentukan, tetapi kondisi di balik hasil tes tersebut. Bayi dengan skor Apgar rendah punya masalah kesehatan, sehingga mempengaruhi tumbuh kembang sel otaknya," ungkap salah satu peneliti, Dr Andrea Stuart seperti dikutip dari Dailymail, Jumat (22/7/2011).

    Meski demikian dr Stuart mengatakan, bayi yang lahir dengan skor Apgar rendah tidak berarti akan mengalami keterbelakangan mental. Menurut hasil penelitian, hanya 1 dari 22 bayi dengan skor Apgar di bawah 7 yang membutuhkan penanganan khusus di sekolah sedangkan sisanya hanya butuh belajar lebih tekun dan serius.

    Seperti yang telah disebutkan, tes Apgar diperkenalkan oleh Dr Virginia Apgar di Amerika Serikat tahun 1952. Tes yang dilakukan 1-5 menit setelah bayi dilahirkan ini meliputi pemeriksaan tekanan darah, kepadatan massa otot, warna kulit dan kemampuan refleks.
    up/ir)





    detikhealth.com

    80 Persen Anak di Indonesia Sudah Diimunisasi


    foto: ThinkstockJakarta, Imunisasi sangat diperlukan bagi bayi dan balita untuk memberikan kekebalan dari suatu penyakit. Saat ini diketahui sudah ada 80 persen anak di Indonesia yang mendapatkan imunisasi.

    "Sekitar 80 persen anak-anak di seluruh Indonesia sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap," ujar Dr H Andi Muhadir, MPH selaku direktur surveilans imumisasi karantina kesehatan dan kesehatan matra, dalam acara temu media di gedung Kemenkes, Jumat (22/7/2011).

    dr Andi menuturkan jika imunisasi diberikan dengan benar, sesuai jadwal dan kualitas vaksin dijaga dengan baik, maka bisa mencegah dan mengurangi angka kesakitan, cacat dan kematian bayi serta balita.

    Imunisasi dasar yang diberikan termasuk heparitis B yang sebaiknya diberikan setelah bayi lahir, lalu imunisasi BCG (untuk mencegah tuberkulosis paru dan otak), imunisasi polio, imunisasi DPT (untuk mencegah penyakit difteri, pertusis dan tetanus) serta imunisasi campak.

    "Untuk melakukan penguatan imunisasi rutin akan dilakukab gerakan melalui GAIN UCI (gerakan akselerasi imunisasi nasional universal child immunization)," ujar Dr Andi.

    Selain itu juga ada kampanye campak dan polio untuk tahun 2009-2011. Tahap pertama mencakup daerah Sumatera Utara, NAD, Maluku Utara dan Papua. Tahap kedua mencakup daerah Maluku, Papua Barat, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Babel, Kepri, NTT dan Banten. Sedangkan tahap ketiga meliputi daerah Kaltim, Kalbar, Kalsel, Kalteng, Sulsel, Sultra, Sulut, Sulbar, Sulteng, Gorontalo, Lampung, Jabar, DKI Jakarta, Jateng, Jatim dan NTB.

    "Hal ini karena efikasi dari vaksin campak hanya 80-85 persen, jadi ada orang yang lebih rentan atau justru tidak terbentuk imunitasnya meski sudah diimunisasi," ungkapnya.

    dr Andi menuturkan untuk mewujudkan kampanye campak dan polio maka kegiatan ini membutuhkan dukungan semua pihak baik di pusat maupun daerah termasuk pemerintah daerah, PKK, organisasi profesi dan organisasi keagamaan.

    Selain itu imunisasi juga menjadi bentuk perlindungan yang praktis karena sangat cepat meningkatkan kekebalan spesifik tubuh bayi dan anak. Dalam waktu 2-4 minggu setelah imunisasi mulai terbentuk kekebalan untuk melawan kuman dan racun.
    ver/ir)





    detikhealth.com

    Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

     
    Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | fantastic sams coupons